Mengapa Ada Orang yang Lebih Mudah Memaafkan Daripada yang Lain

Mengapa Ada Orang yang Lebih Mudah Memaafkan Daripada yang Lain
Beberapa orang bisa beserta sangat mudahnya memaafkan orang lain yg pernah menyakiti dirinya dalam masa kemudian, & kemudian move on membuka lembaran baru dalam hidupnya. Tapi mungkin bagi kebanyakan dari kita yg begitu lain kali memikirkan atau diingatkan perihal orang tadi atau hal menyakitkan yg mereka lakukan, berdamai terasa misalnya sebuah penyiksaan.

Ingatan kita segera berputar kembali dalam hal yg menyakitkan yg mereka lakukan terhadap kita & merenungkan betapa nir adilnya hal itu, bagaimana kita berharap mereka nir pernah melakukannya, betapa jahatnya mereka sudah melakukan hal tadi dalam kita, penasaran bagaimana mereka bisa berkhianat kepada kita, & seterusnya.

Dari sudut pandang neuropsikologis, tindakan menilai sebuah situasi moral sangatlah kompleks & sangat berkaitan beserta unsur kesengajaan apakah si pelaku sungguh bermaksud melakukan hal nir baik itu atau nir? Dan ternyata, satu penelitian menemukan bahwa timbul bagian mini dari otak kita yg menyala aktif demi menyadarkan kita buat mencoba memaafkan orang tadi, waktu kita memahami bahwa kejahatan yg dilakukannya sungguh nir disengaja.

Ada disparitas dalam otak orang yg lebih gampang memaafkan

Studi kerja sama antara University of Vienna dalam Austria, Trieste University dalam Italy, & Boston College dalam Massachusetts menemukan bahwa orang-orang yg memiliki sulkus temporal superior anterior (aSTS) yg lebih maju dilaporkan lebih gampang memaafkan orang lain yg sudah membuat kesalahan tanpa sengaja misalkan, ketika tunggangan beroda empat Knda keserempet motor dalam tikungan jalanan yg awut-awutan. Sulkus temporal superior anterior (aSTS) artinya sebagian mini dari otak akbar yg terletak dalam kepala bagian samping (pelipis). Lebih spesifiknya lagi, semakin berkembang area aSTS seseorang, semakin mini kemungkinannya beliau akan terus menyalahkan si pelaku.

Beragam penelitian terdahulu sudah mendokumentasikan bahwa peningkatan aktivasi dalam STS terlibat dalam persepsi sosial seseorang, yg diantaranya terkait beserta kabar lawan omong kosong & teori pikiran. Teori pikiran, alias mentalisasi, artinya kemampuan buat memahami keadaan mental diri sendiri & orang lain, yg mendasari sebuah konduite pribadi. Ini bisa dicermati menjadi bentuk kegiatan mental imajinatif yg memungkinkan kita melihat & menafsirkan konduite insan sinkron unsur kesengajaan (contohnya, kebutuhan, harapan, perasaan, keyakinan, tujuan, & alasan). Kadang-kadang, mentalisasi jua digambarkan menjadi bisnis buat memahami kesalahpahaman.

Apa alasannya adalah?

Membuat evaluasi moral yg matang perihal tindakan keliru seseorang melibatkan nir hanya mengingat kerusakan yg dilakukan (misal, bemper tunggangan beroda empat copot, spion patah), akan namun jua niat pelaku & keadaan mentalnya (misal, apakah beliau sungguh menargetkan Knda menjadi korban buat balas dendam, mengemudi dalam bawah dampak alkohol, buru-buru, atau hanya salah injak gas). Namun, jika timbul pertentangan yg terperinci antara keduanya, niat tampaknya lebih diutamakan daripada yg akan terjadi tindakannya.

Indrajeet Patil, penulis primer studi ini, lebih rinci mengungkapkan bahwa studi konduite sudah memberitahuakn bahwa waktu niat & yg akan terjadi sebuah tindakan bertentangan, misalnya dalam kasus bahaya serius yg kadang-kadang nir disengaja (contohnya, niat si pengendara motor hanya cari jalan tercepat buat kembali, akan namun malah nabrak), seseorang cenderung terutama serius dalam niat orang tadi ketika merumuskan sebuah keputusan apakah mau dilaporkan ke polisi, atau hening dalam kawasan.

Mengetahui bahwa nir seluruh orang bisa beserta gampang memaafkan orang lain & membuat keputusan yg mutlak, tim peneliti mencoba membahas kasus ini dari sudut pandang anatomi, buat mendapatkan pemahaman apakah disparitas volume & struktur area otak pribadi mungkin mengungkapkan variasi dalam evaluasi moral.

Studi ini mengatakan bahwa, ASTS sudah semenjak usang diketahui terlibat dalam kemampuan buat mencerminkan keadaan mental orang lain (pikiran, agama, harapan, dll.) dalam diri sendiri guna mengungkapkan & memprediksi konduite orang lain sinkron konklusi Knda. Singkatnya, menyelidiki syarat yg Knda hadapi menjadi lebih masuk logika.

Menurut konklusi studi, individu yg memiliki komposisi materi abu-abu lebih poly dalam aSTS lebih bisa buat merasionalisasikan tindak tanduk orang yg melakukan kesalahan itu, & beserta demikian memahami unsur ketidaksengajaan dari bahaya tadi.

Sederhananya, sehabis Knda mengetahui bahwa pengendara motor tadi dalam keadaan sadar sepenuhnya, akan namun jua didukung sang kemudian lintas yg semrawut & ketidakhati-hatian dirinya ketimbang sengaja menabrakkan motornya buat membuat orang asing celaka, Knda jadi lebih gampang memahami situasi & kondisinya, & cenderung buat bisa beserta gampang memaafkan keteledorannya.
loading...

0 komentar untuk Mengapa Ada Orang yang Lebih Mudah Memaafkan Daripada yang Lain