Perlukah Memaksa Anak untuk Ikut Banyak Ekskul dan Les Bimbel

Perlukah Memaksa Anak
Bagi banyak peserta didik, sekolah merupakan kawasan pemicu stres berat. Siswa yang baru memahami satu konsep teori & sedikit lebih lambat daripada teman lainnya, akan merasa cemas dalam memecahkan pertanyaan pada papan tulis depan kelas, disaksikan oleh puluhan pasang mata teman sekelas & juga gurunya. Ujian & kuis mendadak meningkatkan kecemasan pada hampir setiap anak; pada mereka yang menganggapnya serius sekalipun. Ancaman kegagalan & rasa malu yang terkait dengan kegagalan menghasilkan kecemasan akbar pada beberapa anak.

Kemudian, datang tekanan dari orangtua yang menyewa pengajar les langsung buat anak-anak mereka yang bahkan sudah menempati ranking teratas pada kelasnya, hanya buat menjaga mereka supaya tak keluar jalur. Beberapa mendaftarkan anaknya ke banyak sekali les & bimbel (akademis, olahraga, seni) buat memberikan sedikit keunggulan pada antara teman-temannya. Semua ini dilakukan supaya perguruan tinggi terbaik mau menerima mereka dengan tangan terbuka; supaya anak mereka memiliki kesempatan terbaik buat sukses pada kemudian hari.

Mendaftarkan anak ikut les & bimbel mendorong mereka meraih mimpi

Ada banyak keuntungan dalam  mendorong anak sukses pada kehidupan akademisnya. Pola mengasuh seperti ini memberi mereka kesempatan buat sungguh unggul dalam hayati, & membantu anak yang memang ambisius buat mencapai tujuannya. Tapi, balik  lagi, gagasan ini hanya akan berhasil jikalau anak-anak ini cocok buat didorong atau memiliki kemampuan buat didorong mencapai batas maksimalnya. Beberapa anak dapat bekerja dengan baik pada bawah tekanan.

Mendorong anak buat ikut bimbel & les ini-itu demi menjadi yang terbaik seringnya didasari oleh niat baik. Knda menjadi orangtua khawatir bahwa mereka akan tertinggal dalam dunia kerja yang kompetitif. Tapi, gagasan menjadi yang terbaik & memiliki segalanya akan membawa kebahagiaan merupakan ilusi. Bagi anak, dirajam oleh tekanan dari banyak sekali sisi hanya membawa lebih banyak kelelahan, kecemasan, & rasa rendah diri. Anak-anak merasa terus berada pada bawah pengawasan konstan, & mulai merasa tidak cukup baik menjadi anak.

Kesibukan sekolah ditambah dengan ikut les & bimbel juga dapat menghancurkan agama diri anak

Tak seluruh kepribadian anak cocok buat didorong, & banyak orangtua mengabaikan tanda-tanda pada anak-anak mereka. Hasilnya muncul tak hanya pada nilai akademis, akan tetapi juga dalam kesejahteraan mereka. Memenuhi jadwal harian anak dengan begitu banyak aktivitas ekstrakurikuler yang membuat mereka tak sanggup bernapas bisa menciptakan generasi penerus yang tercekik oleh rasa cemas.

Seorang anak yang menikmati sepak bola, misalnya, dapat berkembang jikalau diberi tekanan yang terkait dengan latihan & permainan. Namun pada sisi lain, tertekan bisa membuat anak sangat kewalahan jikalau tidak ditanggulangi dengan baik. Anak yang sama yang menyukai sepakbola dapat mulai runtuh jikalau beliau juga terlibat dalam empat atau lima ekskul lainnya pada waktu yang bersamaan.

Dasar psikologisnya merupakan, kecemasan menghambat kesuksesan seseorang belajar dengan baik. Belajar akan menuai output optimal dalam situasi yang menyenangkan bagi orang tadi, & kecemasan menghambat insting bermain. Sifat memaksa dari sekolah, les, & bimbel mengubah belajar menjadi sebuah pekerjaan. Guru-pengajar bahkan menganggapnya menjadi tugas, pekerjaan rumah yang wajib diselesaikan dulu sebelum anak boleh istirahat. Maka dari itu, belajar, sesuatu yang secara biologis seharusnya didambakan anak buat tumbuh kembangnya, menjadi sebuah kerja keras sesuatu yang wajib dihindari sebisa mungkin.

Akibatnya, hal ini terkait dengan depresi, kemarahan, gangguan kecemasan, penyalahgunaan zat & alkohol, berbohong, gangguan makan, kecerobohan, kekosongan jiwa, keraguan diri, & menyalahkan diri sendiri, perilaku melukai diri sendiri, & kesamaan bunuh diri.

Anak yang sukses pada bawah tekanan menanggung banyak beban tersembunyi

Apa yang terjadi secara psikologis pada anak yang hayati dengan orangtua yang menuntut beliau buat jadi yang terbaik? Hal ini akan tergantung pada temperamen anak, kedekatan antar orangtua & anak, & seberapa akbar dukungan yang anak tadi terima dari figur pengasuh lain dalam hidupnya.

Tapi, perwujudan yang paling menakutkan dari budaya perfeksionisme ini mungkin terjadi pada remaja yang sangat membutuhkan pertolongan, akan akan tetapi berhasil menipu orang-orang pada sekitarnya dengan menampakkan wajah berseri senang & aktualisasi diri kesuksesan. Fondasi psikologis dari anak yang seperti ini sangat rapuh. Mereka sangat gampang merasa kecewa terhadap diri mereka sendiri buat setiap kegagalan yang mereka buat, percaya bahwa mereka tidak membutuhkan pertolongan. Diam-diam karam pada bawah berat tekanan konstan buat menjadi anak berbakat demi menghindari jatuh dalam keputusasaan & rasa malu, mereka merasa terjebak akan akan tetapi tidak bisa mengakuinya. Bahkan bayangan mengecewakan orangtua mereka akan mengaktifkan perasaan bahwa dunia mereka runtuh. Remaja-remaja ini mengatakan, Aku lebih baik mati daripada mengecewakan orangtua.

Anak yang berhasil melalui halang rintang sekolah tanpa lecet sedikit pun namun gagal buat mengembangkan rasa aman dalam dirinya sendiri mungkin akan musnah dengan dukungan yang lebih minim pada dunia perkuliahan, atau dalam interaksi romantis, saat dihadapkan dengan tantangan yang meningkat & ditinjau menjadi tak sesempurna dulu. Tanpa rasa realistis & penerimaan atas kekuatan & kelemahan mereka, atau keterampilan buat menangani kegagalan yang tak terelakkan, mereka tidak dilengkapi dengan kemampuan mengatasi kasus dengan baik. Selanjutnya, kecanduan mereka buat mendapatkan kebanggaan menciptakan ketidakstabilan emosional, mengorbankan ketenangan jiwa.

Dilansir dari WebMD, satu studi pada Kansas State University meneliti 13.257 peserta didik yang mendapatkan konseling antara tahun 1988 sampai 2001. Para peneliti menemukan bahwa taraf depresi pada kalangan mahasiswa 2 kali lipat dalam waktu itu, ad interim jumlah peserta didik yang bunuh diri terhitung tiga kali lipat. Sampai tahun 1994, kasus yang paling awam merupakan apa yang diperlukan: kesengsaraan interaksi antar orangtua-anak & kaitannya dengan sekolah, menurut laporan jurnal Professional Psychology: Research and Practice tahun 2003.

Orangtua yang menggelontorkan banyak uang demi anaknya les & bimbel pada sana-sini, mengorbankan performa akademisnya

Sebuah studi nasional pada Amerika Serikat sudah menemukan bahwa lebih banyak uang yang dihamburkan orangtua membayar buat persiapan pendidikan perguruan tinggi anak-anak mereka, performa nilai akademik anak cenderung jauh lebih jelek dari yang diperlukan,. Sebuah studi oleh Laura Hamilton, seorang profesor sosiologi pada University of California, Merced, dilansir dari Forbes, melaporkan bahwa kontribusi finansial dari orang tua yang lebih akbar terkait dengan penurunan nilai akademis pada antara mahasiswa pada banyak sekali perguruan tinggi.

Hasil studi ini mencolok alasannya adalah kebanyakan orang tua menganggap bahwa semakin banyak uang yang mereka bayarkan buat pendidikan anak-anak mereka, akan lebih baik anak-anak mereka tampil secara akademis. Aika anak gak perlu mengkhawatirkan tentang biaya pendaftaran les & bimbel sana-sini, uang masuk sekolah baru & segala macamnya, menurut para orangtua, pikiran anak akan lebih bebas buat belajar lebih rajin.

Tapi ternyata peserta didik yang biaya pendidikannya dibayarkan sepenuhnya oleh orangtua mereka, justru terlibat dalam aktivitas rekreasi pada luar sekolah. Dengan istilah lain, mereka berpesta bukannya belajar. Kebanyakan peserta didik tidak sampai berpesta-pora sampai mereka drop-out dari perguruan tinggi, akan tetapi mereka merusak kinerja akademis mereka.

Saya sungguh berpikir tekanan [yang berafiliasi dengan sekolah] merupakan faktor primer yang berperan dalam penggunaan narkoba, seks dini, pesta minuman keras anak-anak merasa tertekan, mereka merasakan stres yang luar biasa, istilah Alvin Rosenfeld, MD, penulis The Over-scheduled Child: Avoiding the Hyper-parenting Trap.

Apa yang wajib Knda lakukan menjadi orangtua?

Anak -anak membutuhkan waktu istirahat berkumpul dengan keluarga buat bersantai, curhat, bermain game, & mungkin sesekali jalan-jalan ke mall bersama teman sekolahnya. Anak & orangtua yang memfokuskan hayati mereka berjalan dari satu bimbel ke les lainnya memiliki sedikit kesempatan buat memiliki pengalaman ini. Hal ini dapat berdampak jelek pada anak, & juga merisikokan interaksi Knda & anak menjadi keluarga.

Tidak mendorong anak terlalu keras krusial, terutama jikalau Knda ingin anak Knda mempercayai Knda & merasa aman mengetahui bahwa rasa cinta & afeksi Knda berasal dari siapa diri mereka sebenarnya saat ini, bukan siapa mereka pada masa depan nanti. Perasaan aman & terjamin datang dari fondasi interaksi yang kuat, bukan dari kekuatan fisik & emosional (tekanan & uang) buat menempa mereka menjadi sosok yang tidak mereka inginkan; alasannya adalah saat dorongan ini tak lagi ada, strukturnya akan runtuh, alasannya adalah fondasinya tak sekuat yang diperlukan. Sensitivitas, dukungan, & bantuan gratissemangat positif akan mendorong anak yang menyukai belajar, sekarang & selamanya.

Nadine Kaslow, PhD, profesor psikiatri & ilmu perilaku pada Emory University & psikolog ketua pada Grady Health System pada Atlanta menyarankan orang tua buat mendorong anak-anak mereka mencoba aktivitas baru & mendaftarkan mereka ke banyak sekali les & bimbel selama enam minggu pelajaran. Tapi jikalau anak tidak antusias setelah enam minggu, mundur. Biarkan mereka penekanan pada aktivitas yang mereka sukai. Apa yang membuat kehidupan seseorang lebih baik merupakan kemampuan buat melakukan satu hal dengan baik & menyukainya.

Pada akhirnya, krusial buat menekankan bahwa kami tidak percaya bahwa masyarakat wajib melarang anak-anak pergi sekolah & menggantinya dengan pengangguran. Anak akan mendidik diri mereka sendiri, akan akan tetapi kita menjadi orang dewasa memiliki tanggung jawab buat memberikan lingkungan yang memungkinkan mereka buat melakukan pembelajaran secara optimal.

BACA JUGA:

8 Trik Membiasakan Anak buat Tidur pada Kamar Sendiri
Apakah Anak Perlu Diberikan Suplemen Vitamin?
Tips Memilih Tas Sekolah yang Sehat buat Anak
loading...

0 komentar untuk Perlukah Memaksa Anak untuk Ikut Banyak Ekskul dan Les Bimbel