8 Mitos Seputar Kebiasaan Makan Anak yang Harus Ditinggalkan

8 Mitos Seputar Kebiasaan Makan Anak yang Harus Ditinggalkan
Berbagai mitos yang berkembang kepada masyarakat mampu memengaruhi pola makan & adat makan sehari-hari. Terlebih menyangkut soal anak. Memercayai mitos yang nir betul dikhawatirkan menciptakan anak menjadi kekurangan gizi. Yuk, cek daftar mitos adat makan kepada anak yang telah tidak perlu Knda percayai lagi.

Mitos adat makan anak yang nir perlu dilanjutkan

Mitos 1: Anak wajib menghabiskan makanannya hingga higienis

Meski telah menjadi tradisi yang menjamur kepada kalangan orangtua, adat makan ini hanya sekadar mitos belaka. Knda nir perlu memaksa anak menghabiskan makanannya hingga higienis tandas tanpa residu sedikit pun. Menurut Maggie Moon, RD, seseorang pakar gizi dari Los Angeles, pemaksaan ini hanya akan memicu lonjakan berat badan anak.

Selama masakan yang diberikan tergolong sehat, berikan kebebasan kepada anak untuk memilih masakan yang mereka inginkan. Yang terpenting artinya anak melahap masakan didasarkan  bareng kemampuan lambungnya sekaligus melatih kepekaannya terhadap rasa lapar & kenyang.

Mitos dua: Anak dihentikan makan kedelai

Siapa bilang anak-anak dihentikan makan masakan yang terbuat dari kedelai? Tahu, tempe, edamame, susu kedelai, oncom, kecap, & masakan berbahan dasar kedelai lainnya boleh-boleh saja diberikan kepada anak. Asalkan dalam jumlah yang secukupnya.

Kedelai tinggi protein & rendah serat, dan mampu dikonsumsi oleh seluruh usia. Kedelai bahkan berguna untuk mengurangi risiko kanker payudara kepada perempuan.

Mitos 3: Menyembunyikan sayuran kepada masakan anak agar dia doyan sayur

Kebanyakan orangtua melakukan hal ini untuk menyiasati anaknya yang nir senang makan sayur. Sayuran diolah sedemikian rupa agar permanen tercampur kepada dalam masakan, tanpa anak-anak menyadarinya. Misalnya kepada pulangtelur dadar. Kebutuhan nutrisi anak memang akan permanen terpenuhi, akan tetapi cara ini nir akan menciptakan anak sadar akan manfaat & rasa sayuran yang segar. Hal ini akan terus terbawa hingga dia dewasa nanti.

Tidak terdapat salahnya untuk menaruh sayuran secara gamblang kepada menu masakan anak. Sajikan sayuran bareng ciptaan yang lebih menarik, tanpa wajib disembunyikan. Misalnya sayur brokoli dibuat menjadi rambut orang, wortel menjadi bentuk bunga atau surya, & sebagainya. Kenalkan manfaat poly sekali jenis sayuran waktu menemani anak makan.

Mitos 4: Bayi hanya boleh makan masakan yang hambar

Dilansir dari laman Parents, menurut Diana Rice, RD, seseorang pakar gizi dari The Kids Cook Monday, bayi justru wajib dikenalkan bareng poly sekali jenis rasa. Pasalnya, usia balita adalah masa-masa yang paling baik untuk mendapatkan poly sekali rasa yang baru. Pengenalan rasa pun telah dimulai semenjak diberikan ASI tertentu, yaitu melalui masakan yang dimakan oleh ibu.

Jadi, jangan ragu untuk mengenalkan macam-macam rasa secara sedikit demi sedikit mulai usia 6 bulan. Misalnya bareng mengenalkan sayuran getir, rasa legit dari ikan, atau rasa elok dari butir. Hal ini mampu membantu mereka berbagi kesukaan makan kepada kemudian hari.

Mitos lima: Anak dihentikan makan telur

Banyak orangtua yang khawatir anaknya terkena kolesterol tinggi bila diberikan telur. Eits, tunggu dulu. Ini cuma mitos, kok. Telur adalah asal protein yang poly mengandung zat besi & zink yang vital untuk pertumbuhan anak.

Bagian kuning telur mengandung lutein & zeaxanthin yang baik untuk mempertajam penglihatan & berguna untuk kesehatan otak. Sebelum menyampaikan telur kepada anak, pastikan dulu apakah anak alergi terhadap telur. Aika Knda memiliki riwayat alergi telur, dokter mungkin akan menyarankan Knda untuk menunggu hingga anak berusia dua tahun sebelum mengenalkan telur kepada anak.

Mitos 6: Anak wajib acapkali ngemil

Anak memang membutuhkan masakan ringan kepada sela-sela jam makannya, akan tetapi dihentikan terlalu poly. Sebab, masakan ringan yang hiperbola cenderung menyumbang asupan kalori yang pula hiperbola.

Bagaimana bila anak telah lapar namun belum waktunya makan? Tenang dulu. Anak akan baik-baik saja bareng pola makan tiga kali sehari & satu kali masakan ringan sehat. Hal ini indah untuk melatih kepekaan terhadap rasa lapar. Ketimbang menyampaikan masakan ringan, gantilah bareng butir atau sayuran kukus yang lebih sehat. Jadi, Knda nir perlu cemas waktu anak lapar sebelum waktu makannya.

Mitos 7: Jus butir artinya pilihan yang paling sehat buat anak

Jus butir murni memang mengandung poly vitamin, akan tetapi bukan berarti mampu jadi pengganti butir & sayuran utuh. Alih-alih mendapatkan nutrisi yang lebih poly, juz butir justru nir indah untuk kesehatan anak alasannya tinggi kalori & gula, akan tetapi rendah serat.

Ambil model, sebuah apel berukuran sedang mengandung 4,4 gram serat & 19 gram gula. Jila dijus, satu cangkirnya saja mengandung 114 kalori, 0,lima gram serat, & 24 gram gula. Oleh karenanya, hidangkan butir secara utuh saja ketimbang menyajikannya dalam bentuk juz agar kebutuhan serat anak permanen terpenuhi.

Mitos 8: Aika anak nir mau makan, abaikan saja

Saat anak mulai menolak makan, umumnya orangtua akan menyerah & membiarkan anak begitu saja, apalagi bila anak lebih senang pilih-pilih masakan. Kebiasaan ini usahakan nir diteruskan.

Penelitian menaruh bahwa balita memerlukan waktu untuk mencoba masakan, hingga setidaknya 15 kali ditawarkan. Sebab, mampu saja anak masih kaget bareng masakan barunya. Sajikan lagi & lagi masakan tersebut & yakinlah bahwa anak akan menyukainya secara perlahan.

Jangan menyerah untuk permanen menunjukkan masakan baru sebesar yang Knda mampu. Knda pula mampu mengombinasikan masakan baru bareng masakan kesukaannya untuk memancing nafsu makan anak.
loading...

0 komentar untuk 8 Mitos Seputar Kebiasaan Makan Anak yang Harus Ditinggalkan